Dalil-dalil yang dikemukakan oleh pendapat yang mengharamkan bersalaman lelaki dan perempuan adalah sebagai berikut:
Pertama, beberapa riwayat dari ‘Aisyah r.a. yaitu:
Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah Saw menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari Muslim].
Telah berkata ‘Aisyah: “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah Saw menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari Muslim].
Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah Saw tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Kerana itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.
Kedua, hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:
“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].
Atau hadits yang berbunyi:
“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”
Ketiga, juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw yakni:
“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Sedangkan pendapat yang membolehkan dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah Saw bersentuhan (memegang) tangan wanita.
Pertama, diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata:
“Kami membai’at Rasulullah Saw, lalu Beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangis mayat), kerana itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulullah Saw tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari].
Hadits ini menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam/melepaskan tangan. Seperti disebutkan di dalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tanganya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah Saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulullah Saw telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).
Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan: “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah ‘penerimaan yang terlambat’.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan. (Lihat Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34). Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki erti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa difahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah Saw masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan(anak dara)’.” Beliau kemudian bersabda:
“Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].
Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. ini yang dijadikan dalil oleh sebahagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.
Kedua, diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan inai).” [HR. Abu Daud].
Tiada ulasan:
Catat Ulasan